Minggu, 27 November 2016
Minggu, 16 Oktober 2016
AL-MAİDAH: 51 DAN KONSTELASİ
POLİTİK TANAH AİR HARİ İNİ
Melihat konstelasi
politik tanah air hari ini, dari hati terdalam saya ikut merasa
sedih. Terlebih menjelang pilkada serentak, dengan menghalalkan segala cara, banyak
kandidat yang hanya berpacu merebut kekuasaan, padahal kesejahteraan rakyat
masih jauh dari yang kita harapkan. Terlebih dengan mnggunakan isu agama, kelihatannya
hari ini yang sedang menjadi tren.
Saya bukan pendukung Anis
Baswedan, Agus Yudhoyono ataupun Ahok. Apalagi tim suksesnya. Saya berani
bersumpah itu. Saya hanya seorang pelajar biasa yang kebetulan menggeluti
disiplin tafsir. Sehingga terbesit pertanyaan, Sebenarnya apa yang terjadi
dengan al-Maidah:51?
Sebelum kita mengkaji ayat ini mari kita basuh muka kita, bersihkan hati. Jangan sampai kebencian kita kepada suatu kelompok, manjadikan kita berbuat tidak adil.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu; sebahagian mereka
adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil
mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (terjemahan
bahasa indonesia)
Yang
menjadi perdebatan ‘alot’ pada ayat ini adalah, apa arti kata أولياء?
Dalam kitab “Lisan al-‘Arab” karya Ibn
Manzur (711 H.) yang merupakan rujukan wajib bagi para mufasir, kata أولياء (bentuk plural dari kata “ولي”) memilki derifasi makna yang beragam: teman, penolong, pelindung, pengikut, pencinta
dan penguasa. Pada konteks asma’ul husna,
“ولي” berarti Allah sang penolong (الناصر) dan
raja/penguasa segalanya. ولي juga bisa berarti orang
tua anak yatim yang memenuhi kebutuhannya. ولي المرأة berarti seorang yang meakad nikahkan
perempuan. Juga berarti penolong.
Al-Zajjaj (mufasir klasik) juga mengatakan makna “تولي” adalah menolong. Nabi Muhammad saw pernah berkata ” اللهم ول من ولاه” yang berarti “ya Allah, cintailah orang yang dia cintai dan tolonglah orang dia tolong”. Contoh lain kata مولي misalnya, pada kalimat مولي الموالة berarti seseorang pemberi ni’mat, dalam konteks arab dulu berarti sang pembebas budak.
Al-Zajjaj (mufasir klasik) juga mengatakan makna “تولي” adalah menolong. Nabi Muhammad saw pernah berkata ” اللهم ول من ولاه” yang berarti “ya Allah, cintailah orang yang dia cintai dan tolonglah orang dia tolong”. Contoh lain kata مولي misalnya, pada kalimat مولي الموالة berarti seseorang pemberi ni’mat, dalam konteks arab dulu berarti sang pembebas budak.
Kemudian, bagaimana asbabun nuzulnya?
Al-Thabari (w.310 H), dengan
karya agungnya “Jami’ul Bayan fi ta’wil al-Qur’an” menyebutkan 16
riwayat asbabun nuzul pada ayat ini. Ada garis merah diantara riwayat-riwayat
itu. Diatara riwayatnya adalah:
1.
Dari al-Zuhayri, meriwayatkan:
setelah penaklukan perang badar, umat muslim mengatakan kepada kawan-kawan
yahudi “Berimanlah sebelum Allah menjadikanmu (korban) sebagaimana perang badar
ini”. Maka Malik b. Shaif menjawab “kalian menipu (menggertak), kalian hanya
memerangi kaum Quraisy yang tidak tahu cara berperang. Jika kami bertekad,
kalian tidak akan pernah dapat mengalahkan kami”. Maka Abadah mengadu kepada
Rasul: “Ya Rasul, sesungguhnya kawan-kawan Yahudi kami ‘kolot’ (keras kepala),
mreka juga memiliki kekuatan yang kuat
dan persenjatan lengkap, dan saya ingin terlepas dari mereka menuju Allah dan
rasul-Nya”. Kemudian Abdullah b. Ubay berkata: “tapi saya tidak ingin
melepaskan diri dari mereka. Saya adalah bagian dari
mereka”. Rasul berkata: “wahai Abu Hubab,
apakah kamu tahu apa yang menyebabkan Abadah melepaskan diri dari Yahudi. Maka apakah
kamu tidak mengikutinya? ”. Dia pun menjawabnya: ya saya tahu itu. Kemudian turunlah
surat al-Maidah : 51.
2.
Dari al-Sadi meriwayatkan:
setelah terjadi perang uhud, sekelompok orang semakin menjadi-jadi dan
ketakutan atas kemenangan orang-orang kafir. Berkatalah seorang pemuda
kepada sahabatnya “saya akan mengikuti Yahudi untuk mendapatkan keamanan dan (pura-pura)
menjadi bagian dari mereka. Saya takut kalau (setelah kekalahan Uhud) Yahudi akan mengalahkan kami (muslim)”. Kemudian
pemuda lain mengatakan: “sedangkan saya akan mengikuti si Fulan orang nasrani di
bumi Syam, saya juga akan aman dan (berpura-pura) menjadi nasrani”. Maka turunlah
surat al-Maidah: 51.
Disini terlihat jelas bagaimana konteks ayat ini turun. Menggambarkan adanya korelasi antara perang-muslim munafik-yahudi-nasrani. Secara tegas al-Thabari juga mengatakan bahwa ayat ini turun menegur orang-orang munafik yang lari berlindung pada yahudi dan nasrani serta menjadi bagian dari mereka.
Al-Razi (w. 606 H) juga menegaskan dalam tafsirnya “al-Tafsir
al-Kabir” bahwa yang dimaksud dengan “لَا تَتَّخِذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ” adalah “janganlah
sekali-kali kamu meminta tolong kepada mereka” (dalam konteks peperangan).
İngat!, bukan ‘jangan menjadikan pemimpin’, sebagaimana yang banyak diterjemahkan
dalam bahasa indonesia.
Lantas, bagaimana seharusnya hubungan Muslim dengan non-Muslim dibangun?
Yahya b. Ziyad al-Fara (w.
207 H), penulis kitab “Ma’ani al-Qur’an”, menjelaskan dengan menyebutkan
firman-Nya:
لَا يَنْهَاكُمُ
اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم
مِّن دِيَارِكُمْ
“Allah tidak melarang
kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu
karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu” (al-Mumtahanah: 8)
Mereka (non-Muslim) yang dimaksud adalah orang-orang yang telah berjanji kepada Nabi, tidak akan membunuhnya dan mengusir dari negaranya. Sehingga Nabi Muhammad diperintahkan untuk berbuat baik kepada mereka. Dilanjutkan dengan ayat selanjutnya:
Mereka (non-Muslim) yang dimaksud adalah orang-orang yang telah berjanji kepada Nabi, tidak akan membunuhnya dan mengusir dari negaranya. Sehingga Nabi Muhammad diperintahkan untuk berbuat baik kepada mereka. Dilanjutkan dengan ayat selanjutnya:
إِنَّمَا
يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم
مِّن دِيَارِكُمْ
“Sesungguhnya Allah hanya
melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena
agama dan mengusir kamu dari negerimu” (Al-Mumtahanah: 9)
Dalam konteks ini adalah
orang-orag musyrik Makkah.
Lantas bagaimana
kita harus memahi al-Maidah: 51?. Saya yakin pembaca bisa mengambil kesimpulan
sendiri. Memahami al-Qur’an tidak bisa kita pisahkan teks dengan konteks, itu
saja hemat saya.
Rasanya sedih, jika melihat sekelompok orang yang haus kekuasaan memaksa firman Tuhan untuk dijadikan legitimasi kepentingan politiknya. Memperkosa ayat-ayat Tuhan, bahkan mengajak Tuhan untuk berpolitik. Hari ini pemahaman-pemahaman yang mendasar pada turats inilah yang diperlukan. Sayangnya orang-orang yang memiliki pemahaman sepeti ini sering dicap sesat oleh orang-orang yang suka mie instan, maaf maksud saya pemahaman instan.
Rasanya sedih, jika melihat sekelompok orang yang haus kekuasaan memaksa firman Tuhan untuk dijadikan legitimasi kepentingan politiknya. Memperkosa ayat-ayat Tuhan, bahkan mengajak Tuhan untuk berpolitik. Hari ini pemahaman-pemahaman yang mendasar pada turats inilah yang diperlukan. Sayangnya orang-orang yang memiliki pemahaman sepeti ini sering dicap sesat oleh orang-orang yang suka mie instan, maaf maksud saya pemahaman instan.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Mughzi Abdillah,
Ankara, 16-10-2016
Kamis, 02 Juni 2016
HIKMAH
DIBALIK PERISTIWA ISRA’ MI’RAJ
Manusia ini hidup dalam
3 dimensi waktu, masa lalu masa sekarang dan masa depan. Masa lalu sering
disebut dengan kenangan, masa sekarang adalah kenyataan, sedangkan masa depan
adalah harapan dan cita-cita. Hari ini harus lebih baik dari pada hari kemaren
dan hari esok harus lebih baik dari pada hari ini. Begitu juga seterusnya. Maka
dalam rangka memperbaiki diri, kita ingin mencoba mengingat kembali peristiwa
besar yang terjadi di bulan Rajab. Peristiwa yang dialami Nabi Muhammad SAW yang sering
kita sebut dengan “Isra’ mi’raj”. Seuatu peristiwa masa lampau yang tetap tidak
kehilangan relevansinya untuk dijadikan pelajaran bagi kita semua yang hidup di
abad ke-21.
Al-Qur’an
memang bukan kitab sejarah, namun al-Qur’an banyak menceritakan
peristiwa-peristiwa masa lampau. Dalam menceritakan perstiwa-peristiwa itu,
al-Qur’an banyak mengunakan macam-macam gaya bahasa. Menariknya, ketika
al-Qur’an menceritakan “isra’ mi’raj”, Allah memulainya dengan kalimat tasbih subhânalladzi,
yang merupakan kepanjangan dari kalimat subhânallahu al-ladzi (Maha
suci Allah yang-menjalankan hambanya-). Banyak peristiwa bersejarah yang
diceritakan dalam al-Qur’an tetapi tidak semuanya dimulai dengan kalimat tasbih.
Allah menceritakan penciptaan adam tidak diawali dengan kalimat tasbih. Alah
menceritakan peristiwa ditenggelamkannya bala tentara pasukan Fir’aun, tidak pula
diawali dengan kalimat tasbih. Dan Allah juga bercerita tentang umat Nabi Hud,
tidak juga menggunakan kalimat tasbih. Istimewanya, Allah mencerikatan tentang
“isra’ mi’raj” diawali dengankalimat tasbih. İtu artinya Allah mentaruhkan
kesucian-Nya untuk kebenaran peristiwa “isra’ mi’raj”.
Maha suci Allah yang menjalankan
hamba-Nya. Artinya Allah lah yang menjalankan Muhammad saw. Allah yang berperan
aktif, sedangkan Muhammad saw berperan pasif karena ia dijalankan. Jika tanpa
kekuasaan Allah, Muhammad tak kan mampu melakukan isra’ dan mi’raj dalam satu
malam. tapi –sekali lagi-, ia “dijalankan” oleh zat Yang Maha Menjalankan. Maka
tidak heran, jika dalam satu malam ia dapat berangkat dari Makkah menuju Masjid
al-Aqsa, kemudian naik ke langit tujuh menuju sidratul muntaha, dibawa ke ‘arsy
ntuk menerima perintah shalat kemudian keliling surga dan neraka dan kembali
lagi ke makkah hanya dalam satu malam. Sehingga, muncullah pertanyaan besar di
benak kita, “kok bisa?”. Maka jawabannya adalah karena asrâ yang artinya dijalankan. Untuk memahami
peristiwa ini yang dipakai bukanlah “logika intelektualitas manusia” tetapi
“logika kemahakuasaan yang mutlak dari Allah swt”. Sebagai contoh, ketika kita
bepergian dengan menggunakan mobil dari Bogor ke Jakarta, kemudian pulang lagi
ke bogor sehingga memakan waktu dua jam. Tanpa kita sadari, ternyata dalam
perjalanan itu, ada semut yang masuk ke saku baju kita. Sesampainya kembali di
Bogor, ternyata semut ini menceritakan pengalaman perjalanannya dari Bogor ke
Jakarta kemudian pulang lagi ke Jakarta yang hanya memakan waktu dua jam.
Pastinya semut lain yang diajak ngobrol olehnya tidak akan percaya, karena
logika yang dipakai adalah logika kecepatan semut. Padahal dalam konteks ini
semut tersebut tidak berjalan sendiri melainkan dijalankan. Maka dalam hal ini
logika kecepatan semut tidak dapat dijadikan landasan berpikir untuk menganalisa
kasus ini.
Analisis
kedua adalah kenapa Allah menggunakan redaksi bi’abdihi (hamba-Nya)
dalam menceritakan peristiwa ini. “Maha suci Allah yang telah menjalankan
hamba-Nya”. Ia tidak langsung menggukanan bi Muhammad (-menjalankan-
Muhammad). Jawabbnya adalah karena peritiwa isra’ mi’raj terjadi secara ruh dan
jasad. Seseorang disebut hamba karena ia mempunyai ruh dan jasad. Jika ada
jasad tanpa ruh, maka ia disebut mayat. Sedangkan jika ada ruh tanpa jasad,
bisa jadi itu roh gentayangan. Maka kalimat bi ‘abdihi menunjukkan peristiwa isra’ dan mi’raj terjadi
dengan ruh dan jasad.
Kalimat
bi ‘abdihi juga menunjuukan bahwa Muhammad saw diakui sebagai hamba-Nya.
Kita mungkin bisa berdalih, kalo sekedar diakui sebagai hamba-Nya, toh kita
juga hamba Allah. Tentunya kita hamba Allah. Tetapi kata “kita” menunjukkan
kita yang mengakui, cuma diakui atau tidak? Itu persoalannya. Saya bisa berkata
“saya kenal Pak Presiden” tapi apakah Pak Presiden kenal saya?. Dengan kata
lain, kalau kata “hamba Allah” keluar dari mulut manusia, murah harganya.
Tetapi jika keluar dari firman Allah, maka itu mahal harganya. Berapa banyak
manusia yang mengakui hamba Allah tetapi sejatinya ia adalah hamba dunia, hamba
nafsu, budak dunia dan harta. Hikmahnya adalah, sekali kita menghamba kepada
Allah, janganlah kita menghamba selain kepada Allah swt. Karena itu merupakan
konsekuensi logis dari dua kalimat syahadat yang kita ucapkan. Cukuplah Allah
yang menjadi penolong kita dalam suka dan duka.
Apa
tujuan isra’ mi’raj? Setidaknya ada dua tujuan besar dari peristiwa isra’
mi’raj. Pertama,li nuruyahu min âyâtinâ, untuk memperlihatkan sebagian kecil dari kebesaran ayat-ayat kami untuk
disampaikan kepada umat Muhammad saw, agar dijadikan pelajaran dalam mengarungi
kehidupan. Dalam perjalanannya, Muhammad saw melihat beberapa peristiwa yang
merupakan tamsil atau contoh dari hasil perilaku yang dialukan oleh
umatnya. Muhammad saw melihat orang yang mencakar-cakar wajahnya sendiri.
Kemudian ia bertanya kepada Jibril “kenepa ia mencakar wajahnya sendiri wahai
Jibril”. Jibril menjawabnya “itu adalah contoh kaummu yang suka
memburuk-burukan saudaranya”. Muhammad saw pun melihat orang yang lidahnya
dipotong, dan Jibril menjelaskan bahwa itu merupakan tamsil kaummu yang suka
mengumpat, menggosip dan membuat fitnah.
Kemudian ia juga melihat sekelompok orang yang menanam tumbuhan, hari
itu mereka menanam, hari itu juga tumbuh buahnya, tiap kali dipetik buahnya keluar
lagi buah yang lain. Lalu Nabi menanyakan siapa mereka. Jibril menyebutnya,
mereka adalah orang-orang yang gemar shadaqah, memberikan bantuan kepada orang
lain dan membelanjakan hartanya untuk kepentingan dakwah dan syiar islam.
Tujuan
kedua dari perisitiwa isra’ mi’raj adalah menerima perintah shalat. Nabi menyebutkan
bahwa kedudukan shalat dalam agama
adalah layaknya kepala. İnnamâ masalu al-salat fi al-din kamasali
al-ra’si fi al-jasad. Shalat
itu bagaikan kepala dalam agama. Seseorang yang kehilangan sebelah tangan, ia
masih bisa hidup. Seseorang yang kehilangan sebelah kaki, ia juga masih bisa hidup. Tetapi
seseorang yang kehilangan kepala, jika ia masih hidup berarti ia bukan manusia.
Jika
kita perhatikan dengan teliti, ayat al-Qur’an
yang memerintahkan shalat menggunakan redaksi “aqîm
al-salat” dirikanlah shalat, bukan “if’al al-shalat” kerjakanlah
shalat. Hal ini menyiratkan bahwa shalat bukan hanya ibadah individual yang
hanya berhenti efeknya ketika di masjid atau di tem pat-tampat ibadah.
Melainkan ajaran shalat harus bisa diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari. Orang
yang shalat harus bisa menunjukkan dirinya adalah orang yang baik secara sosial,
bukan hanya ketika menghadap kepada Tuhan-nya semata.
Shalat mengajarkan kita “tawadhu”
atau rendah hati. Anggota badan kita yang paling berharga adalah kepala. Ketika
bercanda dengan kawan, tangan kita dipukul kita masih bisa senyum. Kaki kita
dipukul, kita juga masih bisa senyum. Tetapi jika kepala kita yang dipukul,
kita pasti marah. Namun dalam, anggota badan yang paling kita hargai ini kita letakkan
dibawah, setara dengan kaki kita. Seakan bagian badan ini tidak ada artinya
dihadapan Tuhan. Maka sejatinya, selesai shalat, hilanglah rasa sombong kita. Karena
sejatinya kita tidak berhak sombong, hanya Allah yang berhak memiliki sikap
itu. Iblis diusir dari surga karena ia sombong tidak mau mengikuti perintah
Allah sujud kepada adam. Karena menurutnya ia jauh lebih mulia dari pada adam.
Ia diciptakan dari api, sedangkan adama dari tanah liat. Maka Allah langsung
mengusirnya dari surga, karena surga bukan tempat orang sombong. Bayangkan,
yang sudah tinggal di surga saja diusir karena punya rasa sombong, bagaimana
kita yang masih di dunia, belum masuk surga?. Pantaskah kita sombong?
Kesimpulan
Isra’ mi’raj adalah kemauan Allah.
Kita maunisa punya kemauan, Allah juga punya kemauan. Kalau kemauan kita sesuai
dengan kemauan Allah pasti bisa terjadi. Tetapi jika sesuai, pasti kemauan
Allah lah yang jadi. Lantas, bagaimana agar kmauan kita dimaui oleh Allah?
Mudah saja, ikuti maunya Allah, maka Allah merestui kemauan kita. Dekati Allah,
maka Ia akan dekati kita. Kalau dekat, fasilitas pasti dikasih. Dan sarana
paling efektif untuk berkomunikasi dengan Allah, shalat adanya.
Wallahu’alam bi al-sawab
Langganan:
Postingan (Atom)