Kamis, 02 Juni 2016

HIKMAH DIBALIK PERISTIWA ISRA’ MI’RAJ

Manusia ini hidup dalam 3 dimensi waktu, masa lalu masa sekarang dan masa depan. Masa lalu sering disebut dengan kenangan, masa sekarang adalah kenyataan, sedangkan masa depan adalah harapan dan cita-cita. Hari ini harus lebih baik dari pada hari kemaren dan hari esok harus lebih baik dari pada hari ini. Begitu juga seterusnya. Maka dalam rangka memperbaiki diri, kita ingin mencoba mengingat kembali peristiwa besar yang terjadi di bulan Rajab. Peristiwa  yang dialami Nabi Muhammad SAW yang sering kita sebut dengan “Isra’ mi’raj”. Seuatu peristiwa masa lampau yang tetap tidak kehilangan relevansinya untuk dijadikan pelajaran bagi kita semua yang hidup di abad ke-21. 
                Al-Qur’an memang bukan kitab sejarah, namun al-Qur’an banyak menceritakan peristiwa-peristiwa masa lampau. Dalam menceritakan perstiwa-peristiwa itu, al-Qur’an banyak mengunakan macam-macam gaya bahasa. Menariknya, ketika al-Qur’an menceritakan “isra’ mi’raj”, Allah memulainya dengan kalimat tasbih subhânalladzi, yang merupakan kepanjangan dari kalimat subhânallahu al-ladzi (Maha suci Allah yang-menjalankan hambanya-). Banyak peristiwa bersejarah yang diceritakan dalam al-Qur’an tetapi tidak semuanya dimulai dengan kalimat tasbih. Allah menceritakan penciptaan adam tidak diawali dengan kalimat tasbih. Alah menceritakan peristiwa ditenggelamkannya bala tentara pasukan Fir’aun, tidak pula diawali dengan kalimat tasbih. Dan Allah juga bercerita tentang umat Nabi Hud, tidak juga menggunakan kalimat tasbih. Istimewanya, Allah mencerikatan tentang “isra’ mi’raj” diawali dengankalimat tasbih. İtu artinya Allah mentaruhkan kesucian-Nya untuk kebenaran peristiwa “isra’ mi’raj”.
                Maha suci Allah yang menjalankan hamba-Nya. Artinya Allah lah yang menjalankan Muhammad saw. Allah yang berperan aktif, sedangkan Muhammad saw berperan pasif karena ia dijalankan. Jika tanpa kekuasaan Allah, Muhammad tak kan mampu melakukan isra’ dan mi’raj dalam satu malam. tapi –sekali lagi-, ia “dijalankan” oleh zat Yang Maha Menjalankan. Maka tidak heran, jika dalam satu malam ia dapat berangkat dari Makkah menuju Masjid al-Aqsa, kemudian naik ke langit tujuh menuju sidratul muntaha, dibawa ke ‘arsy ntuk menerima perintah shalat kemudian keliling surga dan neraka dan kembali lagi ke makkah hanya dalam satu malam. Sehingga, muncullah pertanyaan besar di benak kita, “kok bisa?”. Maka jawabannya adalah karena asrâ  yang artinya dijalankan. Untuk memahami peristiwa ini yang dipakai bukanlah “logika intelektualitas manusia” tetapi “logika kemahakuasaan yang mutlak dari Allah swt”. Sebagai contoh, ketika kita bepergian dengan menggunakan mobil dari Bogor ke Jakarta, kemudian pulang lagi ke bogor sehingga memakan waktu dua jam. Tanpa kita sadari, ternyata dalam perjalanan itu, ada semut yang masuk ke saku baju kita. Sesampainya kembali di Bogor, ternyata semut ini menceritakan pengalaman perjalanannya dari Bogor ke Jakarta kemudian pulang lagi ke Jakarta yang hanya memakan waktu dua jam. Pastinya semut lain yang diajak ngobrol olehnya tidak akan percaya, karena logika yang dipakai adalah logika kecepatan semut. Padahal dalam konteks ini semut tersebut tidak berjalan sendiri melainkan dijalankan. Maka dalam hal ini logika kecepatan semut tidak dapat dijadikan landasan berpikir untuk menganalisa kasus ini.
                Analisis kedua adalah kenapa Allah menggunakan redaksi bi’abdihi (hamba-Nya) dalam menceritakan peristiwa ini. “Maha suci Allah yang telah menjalankan hamba-Nya”. Ia tidak langsung menggukanan bi Muhammad (-menjalankan- Muhammad). Jawabbnya adalah karena peritiwa isra’ mi’raj terjadi secara ruh dan jasad. Seseorang disebut hamba karena ia mempunyai ruh dan jasad. Jika ada jasad tanpa ruh, maka ia disebut mayat. Sedangkan jika ada ruh tanpa jasad, bisa jadi itu roh gentayangan. Maka kalimat bi ‘abdihi  menunjukkan peristiwa isra’ dan mi’raj terjadi dengan ruh dan jasad.
                Kalimat bi ‘abdihi juga menunjuukan bahwa Muhammad saw diakui sebagai hamba-Nya. Kita mungkin bisa berdalih, kalo sekedar diakui sebagai hamba-Nya, toh kita juga hamba Allah. Tentunya kita hamba Allah. Tetapi kata “kita” menunjukkan kita yang mengakui, cuma diakui atau tidak? Itu persoalannya. Saya bisa berkata “saya kenal Pak Presiden” tapi apakah Pak Presiden kenal saya?. Dengan kata lain, kalau kata “hamba Allah” keluar dari mulut manusia, murah harganya. Tetapi jika keluar dari firman Allah, maka itu mahal harganya. Berapa banyak manusia yang mengakui hamba Allah tetapi sejatinya ia adalah hamba dunia, hamba nafsu, budak dunia dan harta. Hikmahnya adalah, sekali kita menghamba kepada Allah, janganlah kita menghamba selain kepada Allah swt. Karena itu merupakan konsekuensi logis dari dua kalimat syahadat yang kita ucapkan. Cukuplah Allah yang menjadi penolong kita dalam suka dan duka.
                Apa tujuan isra’ mi’raj? Setidaknya ada dua tujuan besar dari peristiwa isra’ mi’raj. Pertama,li nuruyahu min âyâtinâ, untuk memperlihatkan sebagian kecil dari kebesaran ayat-ayat kami untuk disampaikan kepada umat Muhammad saw, agar dijadikan pelajaran dalam mengarungi kehidupan. Dalam perjalanannya, Muhammad saw melihat beberapa peristiwa yang merupakan tamsil atau contoh dari hasil perilaku yang dialukan oleh umatnya. Muhammad saw melihat orang yang mencakar-cakar wajahnya sendiri. Kemudian ia bertanya kepada Jibril “kenepa ia mencakar wajahnya sendiri wahai Jibril”. Jibril menjawabnya “itu adalah contoh kaummu yang suka memburuk-burukan saudaranya”. Muhammad saw pun melihat orang yang lidahnya dipotong, dan Jibril menjelaskan bahwa itu merupakan tamsil kaummu yang suka mengumpat, menggosip dan membuat fitnah.  Kemudian ia juga melihat sekelompok orang yang menanam tumbuhan, hari itu mereka menanam, hari itu juga tumbuh buahnya, tiap kali dipetik buahnya keluar lagi buah yang lain. Lalu Nabi menanyakan siapa mereka. Jibril menyebutnya, mereka adalah orang-orang yang gemar shadaqah, memberikan bantuan kepada orang lain dan membelanjakan hartanya untuk kepentingan dakwah dan syiar islam.
                Tujuan kedua dari perisitiwa isra’ mi’raj adalah menerima perintah shalat. Nabi menyebutkan bahwa  kedudukan shalat dalam agama adalah layaknya kepala. İnnamâ masalu al-salat fi al-din kamasali al-ra’si fi al-jasad. Shalat itu bagaikan kepala dalam agama. Seseorang yang kehilangan sebelah tangan, ia masih bisa hidup. Seseorang yang kehilangan sebelah  kaki, ia juga masih bisa hidup. Tetapi seseorang yang kehilangan kepala, jika ia masih hidup berarti ia bukan manusia.
                Jika kita perhatikan dengan teliti, ayat al-Qur’an  yang memerintahkan shalat menggunakan redaksi “aqîm al-salat”  dirikanlah shalat, bukan “if’al al-shalat” kerjakanlah shalat. Hal ini menyiratkan bahwa shalat bukan hanya ibadah individual yang hanya berhenti efeknya ketika di masjid atau di tem pat-tampat ibadah. Melainkan ajaran shalat harus bisa diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang shalat harus bisa menunjukkan dirinya adalah orang yang baik secara sosial, bukan hanya ketika menghadap kepada Tuhan-nya semata.
Shalat mengajarkan kita “tawadhu” atau rendah hati. Anggota badan kita yang paling berharga adalah kepala. Ketika bercanda dengan kawan, tangan kita dipukul kita masih bisa senyum. Kaki kita dipukul, kita juga masih bisa senyum. Tetapi jika kepala kita yang dipukul, kita pasti marah. Namun dalam, anggota badan yang paling kita hargai ini kita letakkan dibawah, setara dengan kaki kita. Seakan bagian badan ini tidak ada artinya dihadapan Tuhan. Maka sejatinya, selesai shalat, hilanglah rasa sombong kita. Karena sejatinya kita tidak berhak sombong, hanya Allah yang berhak memiliki sikap itu. Iblis diusir dari surga karena ia sombong tidak mau mengikuti perintah Allah sujud kepada adam. Karena menurutnya ia jauh lebih mulia dari pada adam. Ia diciptakan dari api, sedangkan adama dari tanah liat. Maka Allah langsung mengusirnya dari surga, karena surga bukan tempat orang sombong. Bayangkan, yang sudah tinggal di surga saja diusir karena punya rasa sombong, bagaimana kita yang masih di dunia, belum masuk surga?. Pantaskah kita sombong?

Kesimpulan
                Isra’ mi’raj adalah kemauan Allah. Kita maunisa punya kemauan, Allah juga punya kemauan. Kalau kemauan kita sesuai dengan kemauan Allah pasti bisa terjadi. Tetapi jika sesuai, pasti kemauan Allah lah yang jadi. Lantas, bagaimana agar kmauan kita dimaui oleh Allah? Mudah saja, ikuti maunya Allah, maka Allah merestui kemauan kita. Dekati Allah, maka Ia akan dekati kita. Kalau dekat, fasilitas pasti dikasih. Dan sarana paling efektif untuk berkomunikasi dengan Allah, shalat adanya.

Wallahu’alam bi al-sawab


                 
               



Tiupan-Mu

ku tak tahu, sampai kemana angin-Mu meniup debu ini.
Jika memang harus terdampar,
maka satu pintaku
damparkanlah di bumi-Mu yang terang
kelak jika tertiup kotoran,
berharap masih ada secercaha cahaya-Mu yang dapat kutemukan