AL-MAİDAH: 51 DAN KONSTELASİ
POLİTİK TANAH AİR HARİ İNİ
Melihat konstelasi
politik tanah air hari ini, dari hati terdalam saya ikut merasa
sedih. Terlebih menjelang pilkada serentak, dengan menghalalkan segala cara, banyak
kandidat yang hanya berpacu merebut kekuasaan, padahal kesejahteraan rakyat
masih jauh dari yang kita harapkan. Terlebih dengan mnggunakan isu agama, kelihatannya
hari ini yang sedang menjadi tren.
Saya bukan pendukung Anis
Baswedan, Agus Yudhoyono ataupun Ahok. Apalagi tim suksesnya. Saya berani
bersumpah itu. Saya hanya seorang pelajar biasa yang kebetulan menggeluti
disiplin tafsir. Sehingga terbesit pertanyaan, Sebenarnya apa yang terjadi
dengan al-Maidah:51?
Sebelum kita mengkaji ayat ini mari kita basuh muka kita, bersihkan hati. Jangan sampai kebencian kita kepada suatu kelompok, manjadikan kita berbuat tidak adil.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu; sebahagian mereka
adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil
mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (terjemahan
bahasa indonesia)
Yang
menjadi perdebatan ‘alot’ pada ayat ini adalah, apa arti kata أولياء?
Dalam kitab “Lisan al-‘Arab” karya Ibn
Manzur (711 H.) yang merupakan rujukan wajib bagi para mufasir, kata أولياء (bentuk plural dari kata “ولي”) memilki derifasi makna yang beragam: teman, penolong, pelindung, pengikut, pencinta
dan penguasa. Pada konteks asma’ul husna,
“ولي” berarti Allah sang penolong (الناصر) dan
raja/penguasa segalanya. ولي juga bisa berarti orang
tua anak yatim yang memenuhi kebutuhannya. ولي المرأة berarti seorang yang meakad nikahkan
perempuan. Juga berarti penolong.
Al-Zajjaj (mufasir klasik) juga mengatakan makna “تولي” adalah menolong. Nabi Muhammad saw pernah berkata ” اللهم ول من ولاه” yang berarti “ya Allah, cintailah orang yang dia cintai dan tolonglah orang dia tolong”. Contoh lain kata مولي misalnya, pada kalimat مولي الموالة berarti seseorang pemberi ni’mat, dalam konteks arab dulu berarti sang pembebas budak.
Al-Zajjaj (mufasir klasik) juga mengatakan makna “تولي” adalah menolong. Nabi Muhammad saw pernah berkata ” اللهم ول من ولاه” yang berarti “ya Allah, cintailah orang yang dia cintai dan tolonglah orang dia tolong”. Contoh lain kata مولي misalnya, pada kalimat مولي الموالة berarti seseorang pemberi ni’mat, dalam konteks arab dulu berarti sang pembebas budak.
Kemudian, bagaimana asbabun nuzulnya?
Al-Thabari (w.310 H), dengan
karya agungnya “Jami’ul Bayan fi ta’wil al-Qur’an” menyebutkan 16
riwayat asbabun nuzul pada ayat ini. Ada garis merah diantara riwayat-riwayat
itu. Diatara riwayatnya adalah:
1.
Dari al-Zuhayri, meriwayatkan:
setelah penaklukan perang badar, umat muslim mengatakan kepada kawan-kawan
yahudi “Berimanlah sebelum Allah menjadikanmu (korban) sebagaimana perang badar
ini”. Maka Malik b. Shaif menjawab “kalian menipu (menggertak), kalian hanya
memerangi kaum Quraisy yang tidak tahu cara berperang. Jika kami bertekad,
kalian tidak akan pernah dapat mengalahkan kami”. Maka Abadah mengadu kepada
Rasul: “Ya Rasul, sesungguhnya kawan-kawan Yahudi kami ‘kolot’ (keras kepala),
mreka juga memiliki kekuatan yang kuat
dan persenjatan lengkap, dan saya ingin terlepas dari mereka menuju Allah dan
rasul-Nya”. Kemudian Abdullah b. Ubay berkata: “tapi saya tidak ingin
melepaskan diri dari mereka. Saya adalah bagian dari
mereka”. Rasul berkata: “wahai Abu Hubab,
apakah kamu tahu apa yang menyebabkan Abadah melepaskan diri dari Yahudi. Maka apakah
kamu tidak mengikutinya? ”. Dia pun menjawabnya: ya saya tahu itu. Kemudian turunlah
surat al-Maidah : 51.
2.
Dari al-Sadi meriwayatkan:
setelah terjadi perang uhud, sekelompok orang semakin menjadi-jadi dan
ketakutan atas kemenangan orang-orang kafir. Berkatalah seorang pemuda
kepada sahabatnya “saya akan mengikuti Yahudi untuk mendapatkan keamanan dan (pura-pura)
menjadi bagian dari mereka. Saya takut kalau (setelah kekalahan Uhud) Yahudi akan mengalahkan kami (muslim)”. Kemudian
pemuda lain mengatakan: “sedangkan saya akan mengikuti si Fulan orang nasrani di
bumi Syam, saya juga akan aman dan (berpura-pura) menjadi nasrani”. Maka turunlah
surat al-Maidah: 51.
Disini terlihat jelas bagaimana konteks ayat ini turun. Menggambarkan adanya korelasi antara perang-muslim munafik-yahudi-nasrani. Secara tegas al-Thabari juga mengatakan bahwa ayat ini turun menegur orang-orang munafik yang lari berlindung pada yahudi dan nasrani serta menjadi bagian dari mereka.
Al-Razi (w. 606 H) juga menegaskan dalam tafsirnya “al-Tafsir
al-Kabir” bahwa yang dimaksud dengan “لَا تَتَّخِذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ” adalah “janganlah
sekali-kali kamu meminta tolong kepada mereka” (dalam konteks peperangan).
İngat!, bukan ‘jangan menjadikan pemimpin’, sebagaimana yang banyak diterjemahkan
dalam bahasa indonesia.
Lantas, bagaimana seharusnya hubungan Muslim dengan non-Muslim dibangun?
Yahya b. Ziyad al-Fara (w.
207 H), penulis kitab “Ma’ani al-Qur’an”, menjelaskan dengan menyebutkan
firman-Nya:
لَا يَنْهَاكُمُ
اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم
مِّن دِيَارِكُمْ
“Allah tidak melarang
kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu
karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu” (al-Mumtahanah: 8)
Mereka (non-Muslim) yang dimaksud adalah orang-orang yang telah berjanji kepada Nabi, tidak akan membunuhnya dan mengusir dari negaranya. Sehingga Nabi Muhammad diperintahkan untuk berbuat baik kepada mereka. Dilanjutkan dengan ayat selanjutnya:
Mereka (non-Muslim) yang dimaksud adalah orang-orang yang telah berjanji kepada Nabi, tidak akan membunuhnya dan mengusir dari negaranya. Sehingga Nabi Muhammad diperintahkan untuk berbuat baik kepada mereka. Dilanjutkan dengan ayat selanjutnya:
إِنَّمَا
يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم
مِّن دِيَارِكُمْ
“Sesungguhnya Allah hanya
melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena
agama dan mengusir kamu dari negerimu” (Al-Mumtahanah: 9)
Dalam konteks ini adalah
orang-orag musyrik Makkah.
Lantas bagaimana
kita harus memahi al-Maidah: 51?. Saya yakin pembaca bisa mengambil kesimpulan
sendiri. Memahami al-Qur’an tidak bisa kita pisahkan teks dengan konteks, itu
saja hemat saya.
Rasanya sedih, jika melihat sekelompok orang yang haus kekuasaan memaksa firman Tuhan untuk dijadikan legitimasi kepentingan politiknya. Memperkosa ayat-ayat Tuhan, bahkan mengajak Tuhan untuk berpolitik. Hari ini pemahaman-pemahaman yang mendasar pada turats inilah yang diperlukan. Sayangnya orang-orang yang memiliki pemahaman sepeti ini sering dicap sesat oleh orang-orang yang suka mie instan, maaf maksud saya pemahaman instan.
Rasanya sedih, jika melihat sekelompok orang yang haus kekuasaan memaksa firman Tuhan untuk dijadikan legitimasi kepentingan politiknya. Memperkosa ayat-ayat Tuhan, bahkan mengajak Tuhan untuk berpolitik. Hari ini pemahaman-pemahaman yang mendasar pada turats inilah yang diperlukan. Sayangnya orang-orang yang memiliki pemahaman sepeti ini sering dicap sesat oleh orang-orang yang suka mie instan, maaf maksud saya pemahaman instan.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Mughzi Abdillah,
Ankara, 16-10-2016