Minggu, 16 Oktober 2016



AL-MAİDAH: 51 DAN KONSTELASİ POLİTİK TANAH AİR HARİ İNİ



Melihat konstelasi politik tanah air hari ini, dari hati terdalam saya ikut merasa sedih. Terlebih menjelang pilkada serentak, dengan menghalalkan segala cara, banyak kandidat yang hanya berpacu merebut kekuasaan, padahal kesejahteraan rakyat masih jauh dari yang kita harapkan. Terlebih dengan mnggunakan isu agama, kelihatannya hari ini yang sedang menjadi  tren.
Saya bukan pendukung Anis Baswedan, Agus Yudhoyono ataupun Ahok. Apalagi tim suksesnya. Saya berani bersumpah itu. Saya hanya seorang pelajar biasa yang kebetulan menggeluti disiplin tafsir. Sehingga terbesit pertanyaan, Sebenarnya apa yang terjadi dengan al-Maidah:51?

Sebelum kita mengkaji ayat ini mari kita basuh muka kita, bersihkan hati. Jangan sampai kebencian kita kepada suatu kelompok, manjadikan kita berbuat tidak adil.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu; sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (terjemahan bahasa indonesia)

Yang menjadi perdebatan ‘alot’ pada ayat ini adalah, apa arti kata أولياء?
Dalam kitab “Lisan al-‘Arab” karya Ibn Manzur (711 H.) yang merupakan rujukan wajib bagi para mufasir, kata أولياء (bentuk plural dari kata “ولي”) memilki derifasi makna yang beragam:  teman, penolong, pelindung, pengikut, pencinta dan penguasa. Pada  konteks asma’ul husna, “ولي” berarti Allah sang penolong (الناصر) dan raja/penguasa segalanya.  ولي juga  bisa berarti       orang tua anak yatim yang memenuhi kebutuhannya. ولي المرأة  berarti seorang yang meakad nikahkan perempuan.  Juga berarti penolong.
Al-Zajjaj (mufasir klasik) juga mengatakan makna “تولي  adalah menolong.  Nabi Muhammad saw pernah berkata ” اللهم ول من ولاه yang berarti “ya Allah, cintailah orang yang dia cintai dan tolonglah orang dia tolong”. Contoh lain kata مولي  misalnya, pada kalimat  مولي الموالة  berarti seseorang pemberi ni’mat, dalam konteks arab dulu berarti sang pembebas budak.

Kemudian, bagaimana asbabun nuzulnya? 
Al-Thabari (w.310 H), dengan karya agungnya “Jami’ul Bayan fi ta’wil al-Qur’an” menyebutkan 16 riwayat asbabun nuzul pada ayat ini. Ada garis merah diantara riwayat-riwayat itu. Diatara riwayatnya adalah:
1.      Dari al-Zuhayri, meriwayatkan: setelah penaklukan perang badar, umat muslim mengatakan kepada kawan-kawan yahudi “Berimanlah sebelum Allah menjadikanmu (korban) sebagaimana perang badar ini”. Maka Malik b. Shaif menjawab “kalian menipu (menggertak), kalian hanya memerangi kaum Quraisy yang tidak tahu cara berperang. Jika kami bertekad, kalian tidak akan pernah dapat mengalahkan kami”. Maka Abadah mengadu kepada Rasul: “Ya Rasul, sesungguhnya kawan-kawan Yahudi kami ‘kolot’ (keras kepala), mreka juga  memiliki kekuatan yang kuat dan persenjatan lengkap, dan saya ingin terlepas dari mereka menuju Allah dan rasul-Nya”. Kemudian Abdullah b. Ubay berkata: “tapi saya tidak ingin melepaskan diri dari mereka. Saya adalah bagian dari mereka”.  Rasul berkata: “wahai Abu Hubab, apakah kamu tahu apa yang menyebabkan Abadah melepaskan diri dari Yahudi. Maka apakah kamu tidak mengikutinya? ”. Dia pun menjawabnya: ya saya tahu itu. Kemudian turunlah surat al-Maidah : 51.
2.      Dari al-Sadi meriwayatkan: setelah terjadi perang uhud, sekelompok orang semakin menjadi-jadi dan ketakutan atas kemenangan orang-orang kafir. Berkatalah seorang pemuda kepada sahabatnya “saya akan mengikuti Yahudi untuk mendapatkan keamanan dan (pura-pura) menjadi bagian dari mereka. Saya takut kalau (setelah kekalahan Uhud)  Yahudi akan mengalahkan kami (muslim)”. Kemudian pemuda lain mengatakan: “sedangkan saya akan mengikuti si Fulan orang nasrani di bumi Syam, saya juga akan aman dan (berpura-pura) menjadi nasrani”. Maka turunlah surat al-Maidah: 51.

Disini terlihat jelas bagaimana konteks ayat ini turun. Menggambarkan adanya korelasi antara perang-muslim munafik-yahudi-nasrani. Secara tegas al-Thabari juga mengatakan bahwa ayat ini turun menegur orang-orang munafik yang lari berlindung pada yahudi dan nasrani serta menjadi bagian dari mereka.
Al-Razi (w. 606 H) juga menegaskan dalam tafsirnya “al-Tafsir al-Kabir”  bahwa yang dimaksud dengan “لَا تَتَّخِذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ” adalah “janganlah sekali-kali kamu meminta tolong kepada mereka” (dalam konteks peperangan). İngat!, bukan ‘jangan menjadikan pemimpin’, sebagaimana yang banyak diterjemahkan dalam bahasa indonesia.  

Lantas, bagaimana seharusnya hubungan Muslim dengan non-Muslim dibangun?
Yahya b. Ziyad al-Fara (w. 207 H), penulis kitab “Ma’ani al-Qur’an”, menjelaskan dengan menyebutkan firman-Nya:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu” (al-Mumtahanah: 8)
       Mereka (non-Muslim) yang dimaksud adalah orang-orang yang telah berjanji kepada Nabi, tidak akan membunuhnya dan mengusir dari negaranya. Sehingga Nabi Muhammad  diperintahkan untuk berbuat baik kepada mereka. Dilanjutkan dengan ayat selanjutnya:
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu” (Al-Mumtahanah: 9)
Dalam konteks ini adalah orang-orag musyrik Makkah.

     Lantas bagaimana kita harus memahi al-Maidah: 51?. Saya yakin pembaca bisa mengambil kesimpulan sendiri. Memahami al-Qur’an tidak bisa kita pisahkan teks dengan konteks, itu saja hemat saya.
      Rasanya sedih, jika melihat sekelompok orang yang haus kekuasaan memaksa firman Tuhan untuk dijadikan legitimasi kepentingan politiknya. Memperkosa ayat-ayat Tuhan, bahkan mengajak Tuhan untuk berpolitik. Hari ini pemahaman-pemahaman yang mendasar pada turats inilah yang diperlukan. Sayangnya orang-orang yang memiliki pemahaman sepeti ini sering dicap sesat oleh orang-orang yang suka mie instan, maaf maksud saya pemahaman instan
Wallahu a’lam bi al-shawab.  

Mughzi Abdillah,
Ankara, 16-10-2016