TRUMP DAN PEREBUTAN
YERUSALEM
By:
A. Mughzi Abdillah
Presiden Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel pada 6
Desember. Dia memandang bahwa ini sebagai pengakuan atas realitas, baik
realitas sejarah maupun realitas modern. Trump juga memerintahkan untuk
memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Status Yerusalem merupakan
isu sentral dalam konflik Israel-Palestina, dengan kedua pihak mengklaim kota
itu sebagai ibukota mereka. Beberapa pemimpin Arab Saudi, Mesir, Yordania, Uni
Eropa, Prancis, Jerman dan Turki memperingati Trump untuk tidak bertindak
seperti itu. Untuk mengantisipasi adanya demonstrasi yang meluas, pejabat
pemerintahan AS diperintahkan untuk menghindari Kota Tua Yerusalem dan Tepi
Barat. Gedung putih berpendapat bahwa tindakan semacam itu tidak akan
mengakhiri perdebatan dan Yerusalem barat akan terus menjadi bagian Israel
dalam penyelesaian apapun. Para pengamat mengkiritknya bahwa pendekatan Trump
seperti “membelah bayi” yang dapat menghambat upayanya yang dapat merusak
perdamaian di Timur Tengah disaat api konflik di wilayah lain sedang menyala
karena krisis seperti di Lebanon, Suriah, Irak, Yaman dan Qatar.
Donald Trump kembali melakukan hal yang sangat kontroversial. Kali ini
sepertinya bukan untuk mengeruk laba sebesar-besarnya dari Timur Tengah seperti
sebelumnya. Sebagaimana diketahui setelah Trump dilantik sebgai presiden AS, ia
berlaku layaknya pedagang. Begitu berkuasa langsung mendukung eskalasi hubungan
Iran-Saudi. Bergejolakya konflik Iran-Saudi, Saudi-Qatar yang ternyata
menjadikan AS berpesta keuntungan besar atas penjualan senjata perang mereka.
Pengakuan AS terhadap status Yerusalem sebagai ibukota Israel pastinya
sangat kontroversial. Karena sejak tahun 1948 AS menegaskan status Yerusalem
akan ditentukan dalam perundingan damai yang melibatkan Palestina dan
pihak-pihak terkait. Tentu ini sangat kontraproduktif dan dapat menghapus
posisi AS sebagai mediator perdamaian atas konflik Palestina-Israel.
Tentunya Trump sadar, ia tidak akan mendapatkan keuntungan yang
signifikan dari Palestina atau Israel, karena kedua negara tersebut bukan
negara kaya raya seperti negara-negara Arab Teluk yang pernah ia peras. Tapi hal
ini dilakukan sesuai dengan janji kampanye yang ia sampaikan saat pemilu,
dengan menghidupkan kembali isu sara yang berkaitan dengan agama.
Selama 70 tahun, perebutan kota Yerusalem adalah isu sentral konflik
Palestina-Israel. Yerusalem kota suci dimana terdapat situs-situs suci ketiga
agama samawi, diantaranya Tembok Ratapan (Yahudi), Gereja Makam Kudus (Kristen)
dan Masjid al-Aqsa (Islam). Kalangan Yahudi mendukung pengakuan status
Yerusalem sebagai ibukota Israel. Benjamin Meijer Verbrugge, seorang rabbi
Yahudi di Indonesia, mengatakan bahwa pusat pemerintahan kerajaan Daud ada di
Yerusalem dan memang sudah semestinya Yerusalem (tanah yang dijanjikan) itu
menjadi milik Bani Israel, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Taurat
(perjanjian lama).
Di sisi lain, langkah AS mengakui Yerusalem sebagai Ibu kota Israel akan
menyebabkan kemarahan besar di dunia Islam. Presiden Erdogan menyebut Yerusalem
sebagai “garis merah” bagi umat Islam. OKI akan mengadakan pertemuan luar biasa
di Istanbul pada 3 Desember untuk membahas isu ini. Erdogan telah melakukan
konsolidasi dengan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, Presiden Tunisia
Mohamed Beji Caid Essebsi, dan Presiden Iran Hassan Rouhani untuk menyelesaikan
isu ini.
Kebijakan AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan rencana
memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem menuai reaksi keras
dari dunia Islam. Dengan adanya isu ini, para
pemimpin dunia Islam bersatu menyuarakan satu suara. Presiden Palestina
Mahmud Abbas dan Ismail Haniyah (petinggi Hamas) yang biasanya tidak satu
suara, kali ini kompak menyerukan protes atas langkah itu.
Langkah AS ini hanya berpotensi mendorong tumbuhnya ekstremisme yang
lebih besar. Karena Yerusalem bukan hanya milik umat Yahudi, tetapi juga umat
Kristiani dan umat Islam. Ini juga akan semakin
memicu lahirnya terorisme yang berkedok fanatisme keagamaan. Dan akhirnya teori
“the clash of civilization” Samuel P. Huntington, dimana kepercayaan terhadap
agama menjadi salah satu sumber terjadinya konflik di dunia akan menjadı semakin
nyata. Agama seakan terlihat sebagai sumber fanatisme dan radikalisme,
mengajarkan permusuhan terhadap pemeluk agama lain, karena baik di al-Qur’an,
perjanjian lama maupun perjanjian baru terdapat ajaran untuk mengakui kebenaran
yang bersifat internal. Jika demikian terjadi, maka tidak diragukan lagi perang
dan pertumpahan darah dengan megatasnamakan agama (seperti perang salib) akan
dapat terulang kembali. (Ankara/7.12.2017)