Jumat, 08 Desember 2017

TRUMP DAN PEREBUTAN YERUSALEM
By: A. Mughzi Abdillah

Presiden Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel pada 6 Desember. Dia memandang bahwa ini sebagai pengakuan atas realitas, baik realitas sejarah maupun realitas modern. Trump juga memerintahkan untuk memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Status Yerusalem merupakan isu sentral dalam konflik Israel-Palestina, dengan kedua pihak mengklaim kota itu sebagai ibukota mereka. Beberapa pemimpin Arab Saudi, Mesir, Yordania, Uni Eropa, Prancis, Jerman dan Turki memperingati Trump untuk tidak bertindak seperti itu. Untuk mengantisipasi adanya demonstrasi yang meluas, pejabat pemerintahan AS diperintahkan untuk menghindari Kota Tua Yerusalem dan Tepi Barat. Gedung putih berpendapat bahwa tindakan semacam itu tidak akan mengakhiri perdebatan dan Yerusalem barat akan terus menjadi bagian Israel dalam penyelesaian apapun. Para pengamat mengkiritknya bahwa pendekatan Trump seperti “membelah bayi” yang dapat menghambat upayanya yang dapat merusak perdamaian di Timur Tengah disaat api konflik di wilayah lain sedang menyala karena krisis seperti di Lebanon, Suriah, Irak, Yaman dan Qatar.

Donald Trump kembali melakukan hal yang sangat kontroversial. Kali ini sepertinya bukan untuk mengeruk laba sebesar-besarnya dari Timur Tengah seperti sebelumnya. Sebagaimana diketahui setelah Trump dilantik sebgai presiden AS, ia berlaku layaknya pedagang. Begitu berkuasa langsung mendukung eskalasi hubungan Iran-Saudi. Bergejolakya konflik Iran-Saudi, Saudi-Qatar yang ternyata menjadikan AS berpesta keuntungan besar atas penjualan senjata perang mereka.

Pengakuan AS terhadap status Yerusalem sebagai ibukota Israel pastinya sangat kontroversial. Karena sejak tahun 1948 AS menegaskan status Yerusalem akan ditentukan dalam perundingan damai yang melibatkan Palestina dan pihak-pihak terkait. Tentu ini sangat kontraproduktif dan dapat menghapus posisi AS sebagai mediator perdamaian atas konflik Palestina-Israel.    
   
Tentunya Trump sadar, ia tidak akan mendapatkan keuntungan yang signifikan dari Palestina atau Israel, karena kedua negara tersebut bukan negara kaya raya seperti negara-negara Arab Teluk yang pernah ia peras. Tapi hal ini dilakukan sesuai dengan janji kampanye yang ia sampaikan saat pemilu, dengan menghidupkan kembali isu sara yang berkaitan dengan agama.

Selama 70 tahun, perebutan kota Yerusalem adalah isu sentral konflik Palestina-Israel. Yerusalem kota suci dimana terdapat situs-situs suci ketiga agama samawi, diantaranya Tembok Ratapan (Yahudi), Gereja Makam Kudus (Kristen) dan Masjid al-Aqsa (Islam). Kalangan Yahudi mendukung pengakuan status Yerusalem sebagai ibukota Israel. Benjamin Meijer Verbrugge, seorang rabbi Yahudi di Indonesia, mengatakan bahwa pusat pemerintahan kerajaan Daud ada di Yerusalem dan memang sudah semestinya Yerusalem (tanah yang dijanjikan) itu menjadi milik Bani Israel, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Taurat (perjanjian lama).         

Di sisi lain, langkah AS mengakui Yerusalem sebagai Ibu kota Israel akan menyebabkan kemarahan besar di dunia Islam. Presiden Erdogan menyebut Yerusalem sebagai “garis merah” bagi umat Islam. OKI akan mengadakan pertemuan luar biasa di Istanbul pada 3 Desember untuk membahas isu ini. Erdogan telah melakukan konsolidasi dengan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, Presiden Tunisia Mohamed Beji Caid Essebsi, dan Presiden Iran Hassan Rouhani untuk menyelesaikan isu ini.

Kebijakan AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan rencana memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem menuai reaksi keras dari dunia Islam. Dengan adanya isu ini, para  pemimpin dunia Islam bersatu menyuarakan satu suara. Presiden Palestina Mahmud Abbas dan Ismail Haniyah (petinggi Hamas) yang biasanya tidak satu suara, kali ini kompak menyerukan protes atas langkah itu.

Langkah AS ini hanya berpotensi mendorong tumbuhnya ekstremisme yang lebih besar. Karena Yerusalem bukan hanya milik umat Yahudi, tetapi juga umat Kristiani dan umat Islam. Ini  juga akan semakin memicu lahirnya terorisme yang berkedok fanatisme keagamaan. Dan akhirnya teori “the clash of civilization” Samuel P. Huntington, dimana kepercayaan terhadap agama menjadi salah satu sumber terjadinya konflik di dunia akan menjadı semakin nyata. Agama seakan terlihat sebagai sumber fanatisme dan radikalisme, mengajarkan permusuhan terhadap pemeluk agama lain, karena baik di al-Qur’an, perjanjian lama maupun perjanjian baru terdapat ajaran untuk mengakui kebenaran yang bersifat internal. Jika demikian terjadi, maka tidak diragukan lagi perang dan pertumpahan darah dengan megatasnamakan agama (seperti perang salib) akan dapat terulang kembali. (Ankara/7.12.2017)



Minggu, 27 November 2016




Aşk laftan anlamaz, cinta tak bisa diucapkan dengan kata-kata
Maka,
Izinkan daku mengucapkannya dengan upaya
Jika ditengah penantianmu tumbuh keraguan
Setidaknya dikau tahu
Disebrang negeri nan jauh sana, ada orang yang tengah berupaya mewujudkan cintanya
Untuk kekasih, yang ia yakini sepenuhnya

Minggu, 16 Oktober 2016



AL-MAİDAH: 51 DAN KONSTELASİ POLİTİK TANAH AİR HARİ İNİ



Melihat konstelasi politik tanah air hari ini, dari hati terdalam saya ikut merasa sedih. Terlebih menjelang pilkada serentak, dengan menghalalkan segala cara, banyak kandidat yang hanya berpacu merebut kekuasaan, padahal kesejahteraan rakyat masih jauh dari yang kita harapkan. Terlebih dengan mnggunakan isu agama, kelihatannya hari ini yang sedang menjadi  tren.
Saya bukan pendukung Anis Baswedan, Agus Yudhoyono ataupun Ahok. Apalagi tim suksesnya. Saya berani bersumpah itu. Saya hanya seorang pelajar biasa yang kebetulan menggeluti disiplin tafsir. Sehingga terbesit pertanyaan, Sebenarnya apa yang terjadi dengan al-Maidah:51?

Sebelum kita mengkaji ayat ini mari kita basuh muka kita, bersihkan hati. Jangan sampai kebencian kita kepada suatu kelompok, manjadikan kita berbuat tidak adil.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu; sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (terjemahan bahasa indonesia)

Yang menjadi perdebatan ‘alot’ pada ayat ini adalah, apa arti kata أولياء?
Dalam kitab “Lisan al-‘Arab” karya Ibn Manzur (711 H.) yang merupakan rujukan wajib bagi para mufasir, kata أولياء (bentuk plural dari kata “ولي”) memilki derifasi makna yang beragam:  teman, penolong, pelindung, pengikut, pencinta dan penguasa. Pada  konteks asma’ul husna, “ولي” berarti Allah sang penolong (الناصر) dan raja/penguasa segalanya.  ولي juga  bisa berarti       orang tua anak yatim yang memenuhi kebutuhannya. ولي المرأة  berarti seorang yang meakad nikahkan perempuan.  Juga berarti penolong.
Al-Zajjaj (mufasir klasik) juga mengatakan makna “تولي  adalah menolong.  Nabi Muhammad saw pernah berkata ” اللهم ول من ولاه yang berarti “ya Allah, cintailah orang yang dia cintai dan tolonglah orang dia tolong”. Contoh lain kata مولي  misalnya, pada kalimat  مولي الموالة  berarti seseorang pemberi ni’mat, dalam konteks arab dulu berarti sang pembebas budak.

Kemudian, bagaimana asbabun nuzulnya? 
Al-Thabari (w.310 H), dengan karya agungnya “Jami’ul Bayan fi ta’wil al-Qur’an” menyebutkan 16 riwayat asbabun nuzul pada ayat ini. Ada garis merah diantara riwayat-riwayat itu. Diatara riwayatnya adalah:
1.      Dari al-Zuhayri, meriwayatkan: setelah penaklukan perang badar, umat muslim mengatakan kepada kawan-kawan yahudi “Berimanlah sebelum Allah menjadikanmu (korban) sebagaimana perang badar ini”. Maka Malik b. Shaif menjawab “kalian menipu (menggertak), kalian hanya memerangi kaum Quraisy yang tidak tahu cara berperang. Jika kami bertekad, kalian tidak akan pernah dapat mengalahkan kami”. Maka Abadah mengadu kepada Rasul: “Ya Rasul, sesungguhnya kawan-kawan Yahudi kami ‘kolot’ (keras kepala), mreka juga  memiliki kekuatan yang kuat dan persenjatan lengkap, dan saya ingin terlepas dari mereka menuju Allah dan rasul-Nya”. Kemudian Abdullah b. Ubay berkata: “tapi saya tidak ingin melepaskan diri dari mereka. Saya adalah bagian dari mereka”.  Rasul berkata: “wahai Abu Hubab, apakah kamu tahu apa yang menyebabkan Abadah melepaskan diri dari Yahudi. Maka apakah kamu tidak mengikutinya? ”. Dia pun menjawabnya: ya saya tahu itu. Kemudian turunlah surat al-Maidah : 51.
2.      Dari al-Sadi meriwayatkan: setelah terjadi perang uhud, sekelompok orang semakin menjadi-jadi dan ketakutan atas kemenangan orang-orang kafir. Berkatalah seorang pemuda kepada sahabatnya “saya akan mengikuti Yahudi untuk mendapatkan keamanan dan (pura-pura) menjadi bagian dari mereka. Saya takut kalau (setelah kekalahan Uhud)  Yahudi akan mengalahkan kami (muslim)”. Kemudian pemuda lain mengatakan: “sedangkan saya akan mengikuti si Fulan orang nasrani di bumi Syam, saya juga akan aman dan (berpura-pura) menjadi nasrani”. Maka turunlah surat al-Maidah: 51.

Disini terlihat jelas bagaimana konteks ayat ini turun. Menggambarkan adanya korelasi antara perang-muslim munafik-yahudi-nasrani. Secara tegas al-Thabari juga mengatakan bahwa ayat ini turun menegur orang-orang munafik yang lari berlindung pada yahudi dan nasrani serta menjadi bagian dari mereka.
Al-Razi (w. 606 H) juga menegaskan dalam tafsirnya “al-Tafsir al-Kabir”  bahwa yang dimaksud dengan “لَا تَتَّخِذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ” adalah “janganlah sekali-kali kamu meminta tolong kepada mereka” (dalam konteks peperangan). İngat!, bukan ‘jangan menjadikan pemimpin’, sebagaimana yang banyak diterjemahkan dalam bahasa indonesia.  

Lantas, bagaimana seharusnya hubungan Muslim dengan non-Muslim dibangun?
Yahya b. Ziyad al-Fara (w. 207 H), penulis kitab “Ma’ani al-Qur’an”, menjelaskan dengan menyebutkan firman-Nya:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu” (al-Mumtahanah: 8)
       Mereka (non-Muslim) yang dimaksud adalah orang-orang yang telah berjanji kepada Nabi, tidak akan membunuhnya dan mengusir dari negaranya. Sehingga Nabi Muhammad  diperintahkan untuk berbuat baik kepada mereka. Dilanjutkan dengan ayat selanjutnya:
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu” (Al-Mumtahanah: 9)
Dalam konteks ini adalah orang-orag musyrik Makkah.

     Lantas bagaimana kita harus memahi al-Maidah: 51?. Saya yakin pembaca bisa mengambil kesimpulan sendiri. Memahami al-Qur’an tidak bisa kita pisahkan teks dengan konteks, itu saja hemat saya.
      Rasanya sedih, jika melihat sekelompok orang yang haus kekuasaan memaksa firman Tuhan untuk dijadikan legitimasi kepentingan politiknya. Memperkosa ayat-ayat Tuhan, bahkan mengajak Tuhan untuk berpolitik. Hari ini pemahaman-pemahaman yang mendasar pada turats inilah yang diperlukan. Sayangnya orang-orang yang memiliki pemahaman sepeti ini sering dicap sesat oleh orang-orang yang suka mie instan, maaf maksud saya pemahaman instan
Wallahu a’lam bi al-shawab.  

Mughzi Abdillah,
Ankara, 16-10-2016

   

Kamis, 02 Juni 2016

HIKMAH DIBALIK PERISTIWA ISRA’ MI’RAJ

Manusia ini hidup dalam 3 dimensi waktu, masa lalu masa sekarang dan masa depan. Masa lalu sering disebut dengan kenangan, masa sekarang adalah kenyataan, sedangkan masa depan adalah harapan dan cita-cita. Hari ini harus lebih baik dari pada hari kemaren dan hari esok harus lebih baik dari pada hari ini. Begitu juga seterusnya. Maka dalam rangka memperbaiki diri, kita ingin mencoba mengingat kembali peristiwa besar yang terjadi di bulan Rajab. Peristiwa  yang dialami Nabi Muhammad SAW yang sering kita sebut dengan “Isra’ mi’raj”. Seuatu peristiwa masa lampau yang tetap tidak kehilangan relevansinya untuk dijadikan pelajaran bagi kita semua yang hidup di abad ke-21. 
                Al-Qur’an memang bukan kitab sejarah, namun al-Qur’an banyak menceritakan peristiwa-peristiwa masa lampau. Dalam menceritakan perstiwa-peristiwa itu, al-Qur’an banyak mengunakan macam-macam gaya bahasa. Menariknya, ketika al-Qur’an menceritakan “isra’ mi’raj”, Allah memulainya dengan kalimat tasbih subhânalladzi, yang merupakan kepanjangan dari kalimat subhânallahu al-ladzi (Maha suci Allah yang-menjalankan hambanya-). Banyak peristiwa bersejarah yang diceritakan dalam al-Qur’an tetapi tidak semuanya dimulai dengan kalimat tasbih. Allah menceritakan penciptaan adam tidak diawali dengan kalimat tasbih. Alah menceritakan peristiwa ditenggelamkannya bala tentara pasukan Fir’aun, tidak pula diawali dengan kalimat tasbih. Dan Allah juga bercerita tentang umat Nabi Hud, tidak juga menggunakan kalimat tasbih. Istimewanya, Allah mencerikatan tentang “isra’ mi’raj” diawali dengankalimat tasbih. İtu artinya Allah mentaruhkan kesucian-Nya untuk kebenaran peristiwa “isra’ mi’raj”.
                Maha suci Allah yang menjalankan hamba-Nya. Artinya Allah lah yang menjalankan Muhammad saw. Allah yang berperan aktif, sedangkan Muhammad saw berperan pasif karena ia dijalankan. Jika tanpa kekuasaan Allah, Muhammad tak kan mampu melakukan isra’ dan mi’raj dalam satu malam. tapi –sekali lagi-, ia “dijalankan” oleh zat Yang Maha Menjalankan. Maka tidak heran, jika dalam satu malam ia dapat berangkat dari Makkah menuju Masjid al-Aqsa, kemudian naik ke langit tujuh menuju sidratul muntaha, dibawa ke ‘arsy ntuk menerima perintah shalat kemudian keliling surga dan neraka dan kembali lagi ke makkah hanya dalam satu malam. Sehingga, muncullah pertanyaan besar di benak kita, “kok bisa?”. Maka jawabannya adalah karena asrâ  yang artinya dijalankan. Untuk memahami peristiwa ini yang dipakai bukanlah “logika intelektualitas manusia” tetapi “logika kemahakuasaan yang mutlak dari Allah swt”. Sebagai contoh, ketika kita bepergian dengan menggunakan mobil dari Bogor ke Jakarta, kemudian pulang lagi ke bogor sehingga memakan waktu dua jam. Tanpa kita sadari, ternyata dalam perjalanan itu, ada semut yang masuk ke saku baju kita. Sesampainya kembali di Bogor, ternyata semut ini menceritakan pengalaman perjalanannya dari Bogor ke Jakarta kemudian pulang lagi ke Jakarta yang hanya memakan waktu dua jam. Pastinya semut lain yang diajak ngobrol olehnya tidak akan percaya, karena logika yang dipakai adalah logika kecepatan semut. Padahal dalam konteks ini semut tersebut tidak berjalan sendiri melainkan dijalankan. Maka dalam hal ini logika kecepatan semut tidak dapat dijadikan landasan berpikir untuk menganalisa kasus ini.
                Analisis kedua adalah kenapa Allah menggunakan redaksi bi’abdihi (hamba-Nya) dalam menceritakan peristiwa ini. “Maha suci Allah yang telah menjalankan hamba-Nya”. Ia tidak langsung menggukanan bi Muhammad (-menjalankan- Muhammad). Jawabbnya adalah karena peritiwa isra’ mi’raj terjadi secara ruh dan jasad. Seseorang disebut hamba karena ia mempunyai ruh dan jasad. Jika ada jasad tanpa ruh, maka ia disebut mayat. Sedangkan jika ada ruh tanpa jasad, bisa jadi itu roh gentayangan. Maka kalimat bi ‘abdihi  menunjukkan peristiwa isra’ dan mi’raj terjadi dengan ruh dan jasad.
                Kalimat bi ‘abdihi juga menunjuukan bahwa Muhammad saw diakui sebagai hamba-Nya. Kita mungkin bisa berdalih, kalo sekedar diakui sebagai hamba-Nya, toh kita juga hamba Allah. Tentunya kita hamba Allah. Tetapi kata “kita” menunjukkan kita yang mengakui, cuma diakui atau tidak? Itu persoalannya. Saya bisa berkata “saya kenal Pak Presiden” tapi apakah Pak Presiden kenal saya?. Dengan kata lain, kalau kata “hamba Allah” keluar dari mulut manusia, murah harganya. Tetapi jika keluar dari firman Allah, maka itu mahal harganya. Berapa banyak manusia yang mengakui hamba Allah tetapi sejatinya ia adalah hamba dunia, hamba nafsu, budak dunia dan harta. Hikmahnya adalah, sekali kita menghamba kepada Allah, janganlah kita menghamba selain kepada Allah swt. Karena itu merupakan konsekuensi logis dari dua kalimat syahadat yang kita ucapkan. Cukuplah Allah yang menjadi penolong kita dalam suka dan duka.
                Apa tujuan isra’ mi’raj? Setidaknya ada dua tujuan besar dari peristiwa isra’ mi’raj. Pertama,li nuruyahu min âyâtinâ, untuk memperlihatkan sebagian kecil dari kebesaran ayat-ayat kami untuk disampaikan kepada umat Muhammad saw, agar dijadikan pelajaran dalam mengarungi kehidupan. Dalam perjalanannya, Muhammad saw melihat beberapa peristiwa yang merupakan tamsil atau contoh dari hasil perilaku yang dialukan oleh umatnya. Muhammad saw melihat orang yang mencakar-cakar wajahnya sendiri. Kemudian ia bertanya kepada Jibril “kenepa ia mencakar wajahnya sendiri wahai Jibril”. Jibril menjawabnya “itu adalah contoh kaummu yang suka memburuk-burukan saudaranya”. Muhammad saw pun melihat orang yang lidahnya dipotong, dan Jibril menjelaskan bahwa itu merupakan tamsil kaummu yang suka mengumpat, menggosip dan membuat fitnah.  Kemudian ia juga melihat sekelompok orang yang menanam tumbuhan, hari itu mereka menanam, hari itu juga tumbuh buahnya, tiap kali dipetik buahnya keluar lagi buah yang lain. Lalu Nabi menanyakan siapa mereka. Jibril menyebutnya, mereka adalah orang-orang yang gemar shadaqah, memberikan bantuan kepada orang lain dan membelanjakan hartanya untuk kepentingan dakwah dan syiar islam.
                Tujuan kedua dari perisitiwa isra’ mi’raj adalah menerima perintah shalat. Nabi menyebutkan bahwa  kedudukan shalat dalam agama adalah layaknya kepala. İnnamâ masalu al-salat fi al-din kamasali al-ra’si fi al-jasad. Shalat itu bagaikan kepala dalam agama. Seseorang yang kehilangan sebelah tangan, ia masih bisa hidup. Seseorang yang kehilangan sebelah  kaki, ia juga masih bisa hidup. Tetapi seseorang yang kehilangan kepala, jika ia masih hidup berarti ia bukan manusia.
                Jika kita perhatikan dengan teliti, ayat al-Qur’an  yang memerintahkan shalat menggunakan redaksi “aqîm al-salat”  dirikanlah shalat, bukan “if’al al-shalat” kerjakanlah shalat. Hal ini menyiratkan bahwa shalat bukan hanya ibadah individual yang hanya berhenti efeknya ketika di masjid atau di tem pat-tampat ibadah. Melainkan ajaran shalat harus bisa diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang shalat harus bisa menunjukkan dirinya adalah orang yang baik secara sosial, bukan hanya ketika menghadap kepada Tuhan-nya semata.
Shalat mengajarkan kita “tawadhu” atau rendah hati. Anggota badan kita yang paling berharga adalah kepala. Ketika bercanda dengan kawan, tangan kita dipukul kita masih bisa senyum. Kaki kita dipukul, kita juga masih bisa senyum. Tetapi jika kepala kita yang dipukul, kita pasti marah. Namun dalam, anggota badan yang paling kita hargai ini kita letakkan dibawah, setara dengan kaki kita. Seakan bagian badan ini tidak ada artinya dihadapan Tuhan. Maka sejatinya, selesai shalat, hilanglah rasa sombong kita. Karena sejatinya kita tidak berhak sombong, hanya Allah yang berhak memiliki sikap itu. Iblis diusir dari surga karena ia sombong tidak mau mengikuti perintah Allah sujud kepada adam. Karena menurutnya ia jauh lebih mulia dari pada adam. Ia diciptakan dari api, sedangkan adama dari tanah liat. Maka Allah langsung mengusirnya dari surga, karena surga bukan tempat orang sombong. Bayangkan, yang sudah tinggal di surga saja diusir karena punya rasa sombong, bagaimana kita yang masih di dunia, belum masuk surga?. Pantaskah kita sombong?

Kesimpulan
                Isra’ mi’raj adalah kemauan Allah. Kita maunisa punya kemauan, Allah juga punya kemauan. Kalau kemauan kita sesuai dengan kemauan Allah pasti bisa terjadi. Tetapi jika sesuai, pasti kemauan Allah lah yang jadi. Lantas, bagaimana agar kmauan kita dimaui oleh Allah? Mudah saja, ikuti maunya Allah, maka Allah merestui kemauan kita. Dekati Allah, maka Ia akan dekati kita. Kalau dekat, fasilitas pasti dikasih. Dan sarana paling efektif untuk berkomunikasi dengan Allah, shalat adanya.

Wallahu’alam bi al-sawab


                 
               



Tiupan-Mu

ku tak tahu, sampai kemana angin-Mu meniup debu ini.
Jika memang harus terdampar,
maka satu pintaku
damparkanlah di bumi-Mu yang terang
kelak jika tertiup kotoran,
berharap masih ada secercaha cahaya-Mu yang dapat kutemukan