Jumat, 08 Desember 2017

TRUMP DAN PEREBUTAN YERUSALEM
By: A. Mughzi Abdillah

Presiden Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel pada 6 Desember. Dia memandang bahwa ini sebagai pengakuan atas realitas, baik realitas sejarah maupun realitas modern. Trump juga memerintahkan untuk memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Status Yerusalem merupakan isu sentral dalam konflik Israel-Palestina, dengan kedua pihak mengklaim kota itu sebagai ibukota mereka. Beberapa pemimpin Arab Saudi, Mesir, Yordania, Uni Eropa, Prancis, Jerman dan Turki memperingati Trump untuk tidak bertindak seperti itu. Untuk mengantisipasi adanya demonstrasi yang meluas, pejabat pemerintahan AS diperintahkan untuk menghindari Kota Tua Yerusalem dan Tepi Barat. Gedung putih berpendapat bahwa tindakan semacam itu tidak akan mengakhiri perdebatan dan Yerusalem barat akan terus menjadi bagian Israel dalam penyelesaian apapun. Para pengamat mengkiritknya bahwa pendekatan Trump seperti “membelah bayi” yang dapat menghambat upayanya yang dapat merusak perdamaian di Timur Tengah disaat api konflik di wilayah lain sedang menyala karena krisis seperti di Lebanon, Suriah, Irak, Yaman dan Qatar.

Donald Trump kembali melakukan hal yang sangat kontroversial. Kali ini sepertinya bukan untuk mengeruk laba sebesar-besarnya dari Timur Tengah seperti sebelumnya. Sebagaimana diketahui setelah Trump dilantik sebgai presiden AS, ia berlaku layaknya pedagang. Begitu berkuasa langsung mendukung eskalasi hubungan Iran-Saudi. Bergejolakya konflik Iran-Saudi, Saudi-Qatar yang ternyata menjadikan AS berpesta keuntungan besar atas penjualan senjata perang mereka.

Pengakuan AS terhadap status Yerusalem sebagai ibukota Israel pastinya sangat kontroversial. Karena sejak tahun 1948 AS menegaskan status Yerusalem akan ditentukan dalam perundingan damai yang melibatkan Palestina dan pihak-pihak terkait. Tentu ini sangat kontraproduktif dan dapat menghapus posisi AS sebagai mediator perdamaian atas konflik Palestina-Israel.    
   
Tentunya Trump sadar, ia tidak akan mendapatkan keuntungan yang signifikan dari Palestina atau Israel, karena kedua negara tersebut bukan negara kaya raya seperti negara-negara Arab Teluk yang pernah ia peras. Tapi hal ini dilakukan sesuai dengan janji kampanye yang ia sampaikan saat pemilu, dengan menghidupkan kembali isu sara yang berkaitan dengan agama.

Selama 70 tahun, perebutan kota Yerusalem adalah isu sentral konflik Palestina-Israel. Yerusalem kota suci dimana terdapat situs-situs suci ketiga agama samawi, diantaranya Tembok Ratapan (Yahudi), Gereja Makam Kudus (Kristen) dan Masjid al-Aqsa (Islam). Kalangan Yahudi mendukung pengakuan status Yerusalem sebagai ibukota Israel. Benjamin Meijer Verbrugge, seorang rabbi Yahudi di Indonesia, mengatakan bahwa pusat pemerintahan kerajaan Daud ada di Yerusalem dan memang sudah semestinya Yerusalem (tanah yang dijanjikan) itu menjadi milik Bani Israel, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Taurat (perjanjian lama).         

Di sisi lain, langkah AS mengakui Yerusalem sebagai Ibu kota Israel akan menyebabkan kemarahan besar di dunia Islam. Presiden Erdogan menyebut Yerusalem sebagai “garis merah” bagi umat Islam. OKI akan mengadakan pertemuan luar biasa di Istanbul pada 3 Desember untuk membahas isu ini. Erdogan telah melakukan konsolidasi dengan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, Presiden Tunisia Mohamed Beji Caid Essebsi, dan Presiden Iran Hassan Rouhani untuk menyelesaikan isu ini.

Kebijakan AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan rencana memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem menuai reaksi keras dari dunia Islam. Dengan adanya isu ini, para  pemimpin dunia Islam bersatu menyuarakan satu suara. Presiden Palestina Mahmud Abbas dan Ismail Haniyah (petinggi Hamas) yang biasanya tidak satu suara, kali ini kompak menyerukan protes atas langkah itu.

Langkah AS ini hanya berpotensi mendorong tumbuhnya ekstremisme yang lebih besar. Karena Yerusalem bukan hanya milik umat Yahudi, tetapi juga umat Kristiani dan umat Islam. Ini  juga akan semakin memicu lahirnya terorisme yang berkedok fanatisme keagamaan. Dan akhirnya teori “the clash of civilization” Samuel P. Huntington, dimana kepercayaan terhadap agama menjadi salah satu sumber terjadinya konflik di dunia akan menjadı semakin nyata. Agama seakan terlihat sebagai sumber fanatisme dan radikalisme, mengajarkan permusuhan terhadap pemeluk agama lain, karena baik di al-Qur’an, perjanjian lama maupun perjanjian baru terdapat ajaran untuk mengakui kebenaran yang bersifat internal. Jika demikian terjadi, maka tidak diragukan lagi perang dan pertumpahan darah dengan megatasnamakan agama (seperti perang salib) akan dapat terulang kembali. (Ankara/7.12.2017)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar